Adalah F. Nietzsche yang menelurkan ide berfilsafat dengan martil. Tentu,
saya latah saja mengutip ini untuk menggambarkan pola pikir yang tidak boleh
kaku, semua orang dapat bersikap (boleh setuju boleh tidak). Dia menelurkan
juga aliran perspektivisme (terlalu ruwet untuk dibahas di sini), yang artinya
semua orang punya sudut pandang yang berbeda.
Dunia sedang dag-dig-dug menantikan tanggal 29 September 2021, yakni hari
penentuan Evergrande properti raksasa China gagal atau tidak membayar
obligasinya. Perusahaan ini bernilai RMB 1, 95 triliun atau senilai kurang
lebih US$ 305 Milyar. Anda pasti bertanya apa relasi dengan saya? Relasinya
sangat hebat, karena apabila Tiongkok gagal bayar maka dunia akan mengalami
juga guncangan ekonomi yang tidak kalah hebat dengan krisis subprime morgage di
AS tahun 2008 yang berimbas pada nilai tukar Rupiah dan resesi lanjutan.
Peristiwa ini membuat kita harus berpikir cermat. Ada dua aliran
pemerhati, satu pihak menggunakan kesempatan ini untuk cash-out, artinya tidak
berani lagi berinvestasi, semua uang disimpan di bank. Semua saham, sama saja.
Ini adalah berpikir dengan martil. Semua sama rata, dihancurkan saja, karena
merusak. Semua digeneralisir, semua investasi sama saja buruknya. Martil
menghujam semua, dan semua yang di sentuhnya hancur, berantakan. Karena hanya
punya perkakas martil, maka semua menjadi seperti paku, diketok saja.
Tapi ada yang lebih halus, tidak vulgar, martil digunakan untuk memukul
garpu tala, men-tuning sebuah nada, mengukur apakah sebuah lantai kosong atau
tidak. Martil tidak dipakai untuk mengetok, menghancurkan akan tetapi menjadi
alat penyelaras. Ini penggunaan yang halus. KasuS Evergrande di atas harus
membuat kita jeli, mengukur mana investasi yang gegabah mana yang tidak.
Menjadi lebih hati-hati, karena yang tidak kuat pasti rontok tapi yang kuat
pasti tahan badai dan dapat menguntungkan. Saya tidak mengajarkan investasi
saham tetapi menggunakan anekdot ini untuk menggambarkan dengan martil yang
sama bisa saja kita justru menjadi sangat halus.
Sebuah peristiwa mengundang banyak sudut pandang, jangan hanya kaku
meskipun kita hanya punya martil saja. Kapan waktu memang harus dengan keras
tapi kapan waktu harus pakai martil untuk mengukur, halus bukan untuk
menghancurkan.
Firman yang kita beritakan bukan untuk menghantam orang lain, tapi untuk
mengukur apakah dia perlu bantuan atau tidak? Mari kita berpikir dengan martil.
Boleh setuju boleh tidak.
Supeno Lembang