Artikel Gereja

BERGAUL DENGAN TEKNOLOGI

Gereja yang Bergaul Dengan Teknologi

Presentasi Di  Sidang MPL PGIW Banten, 8 Oktober 2021

Oleh Pdt. Supeno Lembang

Pengantar

Kuil Buddha berusia 400 tahun di Kyoto, menjadi sorotan yang hebat di tengah-tengah menurunnya minat masyarakat Jepang terhadap agama. Muncul seorang Pendeta yang yang sangat berbeda dari biasa, menyapa para jemaat, mulai melantunkan ayat-ayat suci- Sutra. Dan hari itu kuil itu penuh sesak, ibarat adanya kebangunan rohani, dipenuhi bukan oleh jemaat saja akan tetapi oleh banyak pemimpin agama Buddha. Mereka menyambut pendeta ini. Apa yang special dari pendeta ini?

Pendeta ini bernama Mindar. Raut wajahnya mirip Kannon, dewa Kerahiman dalam agama tsb. Dia tidak akan tersinggung, apa lagi marah, selalu senyum, tidak pernah kenal lelah, sangat rohani, hafal ayat di luar kepala, suaranya empuk dan dia tidak pernah akan mati. Badannya - terbuat dari aluminium dan silikon. Dia robopriest - istilah yang diadopsi dari film robocorp, atau pendetarobo. Bernilai 1 Juta USD, ditenggarai akan mampu memberikan wejangan karena akan dilengkapi dengan interkoneksi lewat jaringan internet. Bicara dengan Mindar, nyatakan tanggal lahir, maka dia akan memberikan wejangan yang jitu karena dia tahu jumlah uang di rekening jemaat itu sekarang tersisa berapa, dan berapa kali

kena tilang karena melanggar lalu lintas.

Mungkinkah ini hanya orang Jepang saja dengan budaya mereka? Ternyata dalam laporan Sigal Samuel dari koran VOX, tanggal 13 Jan 2020, di India terdapat pendetarobo Hindu, gereja Protestan Jerman dalam merayakan peringatan 500 tahun Reformasi memperkenalkan pendetarobo yang bernama BlessU-2, gereja Katolik dengan SanTO - (Sanctified Theomorphic Operator) dan penciptanya Gabriele Trovato merencanakan membuat robot untuk agama Islam.

Gereja harus merespon dengan bijak perkembangan ini, beradaptasi dengan pola hidup baru - bukan hanya ketika pandemi akan tetapi berlanjut dan menjadikan gereja ramah teknologi dan bergaul dengan teknologi.

Sekularisasi

Sekularisasi adalah sebuah ungkapan abad pertengahan yang digunakan oleh gereja Katolik untuk menggambarkan proses seorang rahib meninggalkan biara dan kembali ke masyarakat. Masa reformasi istilah ini adalah digambarkan sebagai proses pengalihan aset gereja Katolik kepada pihak Protestan dan institusi non-religius. Singkatnya menjadi sekuler adalah menjauh dari institusi gereja.

Gerakan pemahaman ini menggerakkan penulis seperti Charles Taylor dalam bukunya A Secular Age’ memberikan penajaman sekularisasi dari sosiologis sampai sekularisme eksistensia. Seolah orang modern melakukan hal-hal etsi Deus non daretur (seakan Allah tidak ada), mengalami apa yang disebut Max Weber sebagai “disenchantment of the world” hilangnya hal-hal gaib di dalamnya.

Sampai tahun 80-an menurut Prof. F Budi Hardiman, para intelektual Barat meyakini suatu anggapan lewat modernisasi dan rasionalisasi, agama akan punah dan masyarakat akan sepenuhnya sekular. Tesis sekularisasi ini bukan barang baru, karena sudah diusung oleh Comte, Feuerbach, Marx, Freud, Nietzsche yang menganggap agama semacam ilusi kolektif yang akan ditinggalkan ketika sains, teknologi, dan rasionalitas sekuler mendominasi masyarakat. Alih alih hal tsb digenapi, malah terbukti gugur.

Memasuki abad ke-21 agama mengalami kebangkitan dan menjadi faktor yang ikut menentukan dalam politik kontemporer. Tentu kembalinya gejala agama tidak serta merta mengatakan bahwa ini akan berlangsung terus, akan tetapi popularitas kekuatan ekstrim kanan yang agamis justru menonjol kembali pada panggung politik AS dan beberapa negara di Eropa.

Penulis tidak sedang mempertahankan tesis bahwa dunia kembali menjadi religious sepenuhnya akan tetapi agama ternyata sesuatu yang tidak mudah disingkirkan oleh perkembangan jaman. Kembalinya minat akan agama sering sekali disebut sebagai post-sekularisme, pasca gerakan sekularisasi, saat ini sedang hangat diangkat kembali oleh pemikir seperti William A Barbeiri.

Indonesia belum sampai kepada masyarakat Pasca-Sekularisasi seperti yang diuraikan di-atas. Masyarakat Indonesia bahkan masih belum sampai pada tahapan sekularisasi, alih-alih masuk dalam Pasca-Sekularisasi. Gejala masih percaya kepada hal-hal gaib masih sangat kuat dan bahkan para pemuka agama menyiapkan sejumlah kutukan bagi mereka yang salah pilih kandidat Gubernur di Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Akan tetapi perlu dicatat, meskipun masyarakat awam masih mempercayai hal-hal gaib, hal tsb tidak serta merta membuat mereka menjadi khusyuk dan serius dalam menjalankan ibadah (religius). Ambiguitas nilai menjadi ciri umum yang sekarang dapat dengan mudah dilihat di sekitar kita. Ibadah kalau masa sebelum pandemi masih membawa nilai liturgis, sedangkan saat ini ibadah dari rumah. Sulit membedakan antara menonton ibadah atau beribadah. Tantangan Gereja menjadi berlipat ganda. Gereja perlu menyiapkan diri.

Bergaul dekat dengan teknologi

Pandemi Covid-19 ini mengubah cara beribadah tradisional dengan pertemuan-pertemuan komunitas menjadi pertemuan melalui media, sosmed, zoom, teams dst. Terkuak sebuah tatanan pelayanan baru, yakni layanan digital. Gereja perlu menyiapkan diri dan bergaul dengan dunia digital ini meskipun terkadang setelah di mulai, peserta ibadah on-line terkadang menurun. Akan tetapi tidak dapat disangkali bahwa media digital akan menjadi penentu pertumbuhan gereja di masa yang akan datang. Gereja harus siap bergaul dengan teknologi.

Tulisan Thoms S Rainer menguatkan tesis bahwa pelayanan on-line akan menjadi pelengkap meskipun ketika ibadah tatap-muka sudah dimungkinkan. Tesis yang diajukan dalam makalah ini dapat disimpulkan sbb:

● Gereja harus siap dan dengan tangan terbuka terhadap kemajuan teknologi bahkan harus dapat memanfaatkannya demi pelayanan yang lebih efektif..

● Tidak perlu dipertentangkan antara iman dan pemakaian teknologi yang pesat

● Gereja harus confidence bahwa gereja tidak mudah dimusnahkan dengan majunya teknologi, karena jauh lebih fundamental, iman adalah kebutuhan manusia, paling tidak sebagian besar manusia. Jangan sampai Gereja berpendirian sempit dan akhirnya mengucilkan diri dari perkembangan teknologi.

● Generasi native digital perlu didekati dengan teknologi yang mereka pahami jangan sampai terjadi Jurang Antar Generasi (Generation Gap).

● Kreatifitas menjadi faktor sangat penting agar gereja tsb dapat tetap exist dan mendapatkan perhatian dari jemaat.

Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa GKNS Agape paling maju dalam beradaptasi akan tetapi beberapa contoh berikut adalah upaya dari GKNS Agape untuk beradaptasi. Potensi dunia digital akan terus digali bahkan sampai ketika ibadah tatap muka dimungkinkan, pelayanan digital ini tetap menjadi pelayanan yang akan terus digeluti.

Beberapa Contoh implementasi yang dilakukan oleh GKNS Agape antara lain:

1. Website www.gknsagape.com

2. Mobile Aplikasi yang dapat diunduh dari GKNS Agape - baik di playstore maupun di apple store.

3. Persembahan gereja lewat Qris - memudahkan persembahan via scan QR yang ditampilkan dalam kanal youtube GKNS Agape Karawaci

4. Doa Malam setiap Senin dan Rabu malam melalui zoom meeting

5. Doa Gembala setiap pagi dikirimkan ke wa grup gereja.

6. Obrolan Malam Agape (OMA) - Semacam Komsel Gabungan via zoom meeting

7. Konseling - menghubungi konselor yang sudah terlatih dan sedang di latih di LK3 (baik secara on-line, per telpon, untuk pelayanan one on one)

8. Seminar Bulanan via zoom dan kanal youtube dengan mengundang pembicara dari luar

9. Pelayanan Anak

10.Pertemuan rutin dengan pengurus via zoom

11.Komsel via zoom

12. Podcast Komunitas Kaum Pria  Agape

Related Posts