Istilah di atas adalah sebuah kenyataan bahwa komunikasi antar generasi
memiliki dinamika tersendiri yang harus dipahami. Jurang antar Generasi (JaG)
ini menjadi semacam ungkapan seringnya timbul salah paham, mau menang sendiri,
menghina generasi yang lain, mengecilkan capaian generasi berikut, atau
meremehkan generasi yang sudah mendahuluinya dst. Ini disebut tensi (JaG).
Generasi Baby Boomer mempunyai kecenderungan glorifikasi masanya,
orientasi kepada masa lalu lebih baik dst. Generasi Z (generasi milenial)
sering menganggap generasi mereka lebih smart dan fleksibel. Mereka adalah
native digital istilah pribumi digital, atau digital alamiah, tidak ada lagi
makna hierarki organisasi, semua flat, semua informal. Baby Boomer mengharapkan
pengakuan, seperti gaya kolonial. Glorifikasi masa lalu menutup Baby Boomer
untuk bereksperimen dengan teknologi baru, karena tidak mudah dan sangat cepat
berubah.
Anak saya mewakili Generasi Milenial dan saya mewakili Baby Boomer, tentu
anda dapat bayangkan di rumah sering juga terjadi salah paham, apalagi masa
pandemi di mana kami sering bertatap muka. Saya sering menggunakan hak saya
berdasarkan faktor umur saja untuk memaksakan pendapat ketika saya kalah
berargumen dengan sikap kritis mereka. Bagaimana tidak, mereka pakai kaos tanpa kerah ketika
menghadap Menteri, saya pakai jas lengkap. Menteri Pendidikan malah
menganjurkan dia dipanggil Bro, untuk mewakili zaman milenial. Saya mendumel,
itu kenyataannya, tapi mungkin saya
harus berubah.
Generasi Z ini memang lincah, cepat berubah, sangat mudah pindah kerja,
tidak betah, cepat bosan, semua hanya berdasarkan perkiraan sesaat, kurang
stabil dan ketika ada krisis biasanya Baby Boomer dapat memberikan nasehat.
Apakah keadaan ini tidak dapat diatasi? Mereka mencari tokoh yang sangat
menguasai bidang yang mereka senangi – misalnya jazz gitar, maka milenial yang
suka gitar pasti akan sangat hormat dengan Baby Boomer yang juga main jazz
gitar dengan piawai. Mereka tidak suka generalisme – pandai segalanya. Ketika
masalah penilaian makanan, saya biasanya biarkan mereka yang memimpin, karena
saya tidak kuasai.
Saya optimistik JaG ini dapat diatasi. Ketika saya lebih dahulu
mengadakan pendekatan, kaum milenial lebih relax, mampu beradaptasi dengan
cepat. Ketika sudah nyaman dan tentu saya harus beradaptasi dengan seluruh
jargon mereka, istilah-istilah mereka harus dipahami dan media mereka harus
juga diselami mereka akan sangat akrab, banyak bicara, banyak berbagi dan suka
mendengarkan nasehat juga. Mereka mempunyai kebiasaan mudah bersahabat – tanpa
gengsi dan tanpa batas, gaul begitu.
Masa depan gereja ada dalam generasi muda ini, semua pemangku kepentingan
gereja kita semua harus berusaha menyelami dan menyadari hal ini. Boleh setuju
boleh tidak.
Pdt. Supeno Lembang